Di balik gedung-gedung pencakar langit yang memancarkan citra kemajuan, tersembunyi realitas lain yang kontras, jutaan warga kota Indonesia hidup dalam permukiman kumuh dengan kondisi yang jauh dari layak. Fenomena ini menggambarkan wajah ganda kota yang sangat berbeda. Permukiman kumuh telah menjadi wajah yang tak asing di kota-kota besar di Indonesia. Di tengah terangnya gedung di kawasan elit, masih banyaknya warga yang hidup dalam kondisi tidak layak huni. Fenomena ini mencerminkan salah satu bentuk nyata dari kesenjangan sosial yang ada di wilayah perkotaan.
Hingga tahun 2020, tercatat sekitar 29,9 juta jiwa penduduk Indonesia tinggal di kawasan kumuh perkotaan. Mereka menetap di lingkungan padat, sempit, dan minim akses terhadap air bersih, sanitasi, dan infrastruktur dasar lainnya. Berdasarkan data Kementerian PUPR, terdapat sekitar 4.170 hektare kawasan kumuh di seluruh Indonesia yang masih memerlukan intervensi penanganan.
Ketimpangan ini juga tergambar dalam data Badan Pusat Statistik (BPS). Tahun 2020, sekitar 10,04% rumah tangga tinggal di rumah tidak layak huni, yang sedikit menurun menjadi 9,12% di 2021 dan 8,93% di 2022. Lebih lanjut, laporan UN-Habitat menunjukkan bahwa pada tahun 2018, sekitar 30,6% populasi perkotaan Indonesia tinggal di kawasan slum (kumuh). Angka ini masih tergolong tinggi dan mencerminkan lemahnya pemerataan hasil pembangunan kota.
Ketimpangan antar wilayah juga tampak mencolok. Provinsi seperti Papua mencatat persentase rumah tangga kumuh tertinggi di Indonesia, yakni mencapai 40,3%, disusul oleh NTT (31,2%) dan DK Jakarta (22,1%). Ironisnya bahkan kota yang menjadi pusat pemerintahan dan bisnis nasional masih memiliki luasan permukiman kumuh yang signifikan. Fenomena ini menegaskan bahwa pembangunan kota belum sepenuhnya inklusif. Masih ada bagian masyarakat yang tertinggal, hidup di sela-sela dinding kemewahan kota yang tidak mereka nikmati. “1 Kota 2 Dunia” bukan hanya kiasan, melainkan potret nyata ketimpangan yang terjadi di banyak kota besar Indonesia hari ini.
Keberadaan permukiman kumuh tidak bisa terlepas dari faktor ekonomi dan kebijakan yang belum merata. Banyak masyarakat perkotaan yang tidak mampu membeli rumah atau menyewa tempat tinggal layak karena harga properti yang sangat tinggi. Akibatnya, masyarakat kurang mampu memilih tinggal di lahan-lahan ilegal, seperti bantaran sungai, pinggiran rel kereta api, atau kolong jembatan.
Kesenjangan dapat terlihat jelas ketika melihat perbandingan kondisi hunian di permukiman kumuh dengan kawasan elit di perkotaan. Dapat dilihat dari fasilitas dan infrastruktur yang jauh berbeda antara kawasan permukiman kumuh dan kawasan elit. Selain itu, minimnya ruang terbuka hijau dan sarana transportasi umum yang memadai juga menjadi faktor yang memperparah kualitas hidup mereka.
Pada sudut pandang sosial, permukiman kumuh kerap kali menjadi objek sasaran stigma negatif. Penghuni permukiman kumuh sering dianggap sebagai biang kerok meningkatnya kriminalitas atau pencemaran lingkungan.
Solusi terhadap persoalan permukiman kumuh memerlukan pendekatan yang holistik. Pemerintah perlu mengembangkan kebijakan permukiman yang inklusif dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Selain itu, program pemberdayaan ekonomi, pendidikan, serta peningkatan akses terhadap layanan dasar harus dijalankan secara berkelanjutan. Partisipasi masyarakat juga menjadi kunci untuk menciptakan permukiman yang lebih baik.
Kesimpulannya, permukiman kumuh adalah cerminan dari ketimpangan sosial yang masih menjadi tantangan besar di Indonesia. Mengatasinya bukan sekedar soal pembangunan fisik, tetapi juga menyentuh aspek kemanusiaan, keadilan sosial, dan hak dasar setiap warga negara untuk hidup layak. (ANA)
Referensi
Fitri, D. A. (2021). Faktor-Faktor Penyebab Munculnya Permukiman Kumuh Daerah Perkotaan di Indonesia (Sebuah Studi Literatur). Jurnal Swara Bhumi, 1-9.
Iren M br Tumeang, Akmal Fauzan Nasution, Nahwa Zainab Marpaung, & Rahman Malik. (2023). Permukiman Kumuh Sebagai Bentuk Kesenjangan di Perkotaan (Studi Kasus Kelurahan Glugur Darat Ii Kota Medan. Jurnal Sosiologi, 51-65.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (2018). Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 14/PRT/M/2018 Tahun 2018 tentang Pencegahan Dan Peningkatan Kualitas Terhadap Perumahan Kumuh Dan Permukiman Kumuh.