Aspek gender dalam perencanaan dan pembangunan infrastruktur lebih dikenal dengan istilah Pengarusutamaan Gender (PUG). PUG merupakan suatu strategi untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender. Kebijakan dibuat dengan memperhatikan pengalaman, aspirasi kebutuhan, serta permasalahan dari setiap kelompok gender dan kelompok rentan. Kebijakan tersebut berkaitan dengan proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi dari seluruh kegiatan di bidang pembangunan sehingga dapat memperolah kesetaraan pada aspek AKPM (Akses, Kontrol, Partisipasi, dan Manfaat). Terdapat beberapa tantangan dalam pengimplementasian PUG seperti adanya stereotip bahwa infrastruktur dianggap netral gender, padahal faktanya ada kebutuhan khusus gender tertentu yang perlu di akomodasi seperti toilet khusus untuk penyandang disabilitas. Selain itu, masih banyak lagi permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam pengimplementasian PUG.

Webinar Perkim Seri-9 “Gender dalam Infrastruktur” yang telah dilaksanakan pada 17 Juli 2020 menghadirkan dua orang narasumber yaitu Ir. Ineke Sri Indrarini, M.Eng, Sc, MM selaku tenaga ahli dalam Kegiatan Fasilitasi dan Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Sekretariat PUG Kementerian PUPR serta Thilma Komaling selaku Anggota Tim Penulis Strategi Nasional Artificial Intelligence. Berikut ulasan sesi diskusi tanya jawab webinar :

  1. Keberadaan perempuan di desa sepertinya agak sulit untuk berkarya, ditambah lagi dengan adanya hambatan dari tradisi yang berlaku. Bagaimana caranya para perempuan tersebut dapat tetap berkarya dan berkontribusi walaupun menghadapi hambatan situasi tersebut?

Sebenarnya gender itu bukan masalah kota dan desa, karena gender itu permasalahan global. Kalau pertanyaannya, bagaimana perempuan di luar kota atau di desa bisa berkarya karena terbentur tradisi, saya hanya bisa sharing dari pengalaman saya. Saya mempunyai seorang mentor di bidang kepemimpinan perempuan, dia menyampaikan kalau saat ini kita belum mencapai posisi yang cukup setara, masih butuh pengembangan sedikit. Namun, untuk kita bisa menjadi pemimpin perempuan, kita harus bekerja 3 kali lebih keras dibanding pemimpin laki-laki, walaupun hal ini akan menjadi kerja ganda atau double burden.

Kita harus punya tips dan trik untuk bisa menjalani double burden ini. Saya rasa, kita harus cukup pintar untuk berada dalam posisi peran mengurus anak dan keluarga. Walaupun dengan kita membutuhkan sistem dukungan atau supporting system di sekitar kita. Seperti meminta bantuan keluarga atau pengasuh yang bisa dipercaya untuk membantu, sehingga saat kita harus keluar bekerja, untuk berkarya, atau apapun kegiatan yang menjadi aspirasi, kita tidak lagi memiliki kekhawatiran akan tanggung jawab kita di rumah. Saya kira itu, cukup mudah untuk dikatakan tapi sulit untuk dilakukan. (Thilma Komaling – Team Penulis Strategi Nasional Artificial Intelligence)

  1. Dari sisi PU, untuk peran kaum laki-laki di bidang gender itu bagaimana bu?

Sebetulnya anggota dari Pokja (kelompok kerja) ini juga banyak laki-laki, tidak hanya perempuan. Pokja ini melaksanakan pengarusutamaan gender berdasarkan tugas dan fungsinya masing-masing. Hanya, permasalahannya ketika penyusunan dan penganggaran gender (PPRG) kebanyakan adalah perempuan yang ikut. Nah apabila pokja ini membutuhkan kerjasama dengan dinas lainnya, mereka sebenarnya juga bisa untuk tetap mengirimkan tim laki – lakinya. Harapannya sosialisasi gender ini tidak hanya dilakukan oleh perempuan tetapi juga bisa bekerjasama dengan laki – laki.  (Ir. Ineke Indrarini M.Eng. SC. MM – Kementerian PUPR)

  1. Banyak leader perempuan yang berurusan dengan sektor infrastruktur. Mereka terkadang terkendala dengan skill advocacy antara atasan dan bawahan, apakah para narasumber juga menghadapi masalah ini?

Menyiasati hubungan kerja antara laki-laki dan perempuan, saya ambil contoh di Kantor Bina Marga, disana mungkin perempuan hanya 1% dan hampir semuanya laki-laki. Namun, bagusnya di sana adalah pimpinan tidak menganggap kita sebagai sosok perempuan yang perlu dilindungi karena sudah ada Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk bekerja. Bagi kami kaum perempuan, bekerja di Kantor Bina Marga tidak menemukan hambatan. Bahkan, karir kami juga bisa naik seperti posisi kaum laki – laki. Peran pemimpin dalam pekerjaan kemudian menjadi penting dalam membagi tupoksi yang sesuai dengan keterbatasan dari masing – masing gender sehingga semuanya dapat bekerja secara maksimal. (Ir. Ineke Indrarini M.Eng. SC. MM – Kementerian PUPR)

  1. Banyak forum diskusi online pada masa pandemi itu temanya berbicara tentang teknis perencanaan dan penyediaan infrastruktur. Sementara informasi yang berkaitan dengan teknis infrastruktur biasanya tidak semuanya melalui bahasa isyarat untuk penyandang tuna rungu. Bagaimana pemerhati infrastruktur yang memiliki keterbatasan dapat mengakses informasi ini? Sebab banyak dari mereka merupakan pelaku pembangunan yang juga harus menerapkan PUG pada tingkat rumah tangga.

Ini juga masih menjadi PR untuk kita. Sebetulnya 3-4 tahun yang lalu, kita sudah mengumpulkan para penyandang disabilitas untuk membentuk modul training pelatihan PUG dengan bahasa mereka. Kemungkinan tahun depan akan kita mulai lagi untuk modul-modul training teknisnya. Contoh, bagi penyandang disabilitas tuna rungu, karena mereka bisa membaca instruksi dan melihat cara membuat rumah maka akan kita buatkan step by step (langkah – langkah) pembangunan rumah dengan mudah. PR yang belum kita lakukan adalah menyediakan informasi teknologi di dalam website yang sesuai untuk dengan teman-teman yang berkebutuhan khusus lainnya. Hal ini bisa kita lakukan dengan kerjasama pihak Pusdatin dan Bina Konstruksi. Bina konstruksi akan menyiapkan modul-modul training sehingga yang unskilled dapat menjadi skilled. Harapannya, seperti teman – teman tuna netra, mungkin mereka tidak bisa bekerja secara fisik di lapangan namun dapat mengambil peran di bagian manajemen proyeknya dengan menggunakan peralatan khusus yang sesuai dengan kondisi mereka. (Ir. Ineke Indrarini M.Eng. SC. MM – Kementerian PUPR)