Di kota-kota besar atau daerah yang berkembang, Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) banyak ditemui pada lahan-lahan dengan status sebagai berikut:
- Hak Guna Bangunan (sewa atau dipinjami)
Hak guna ini dilakukan karena lahan tersebut tidak ingin dilepas oleh pemiliknya kecuali di sewa atau di pinjami dengan syarat. Masyarakat yang membangun rumah di lahan dengan status ini tidak berani membangun secara permanen atau dengan baik karena sifatnya hanya sementara sehingga kualitas bangunan asal memenuhi fungsi berteduh dan keamanan saja.
- Magersari (ijin tinggal dengan suatu kewajiban)
Magersari adalah ijin penempatan lahan (biasanya milik keraton/negara) kepada seseorang atau banyak orang dengan kewajiban tertentu (biasanya “sewa” dibayar dengan kewajiban melakukan pekerjaan yang tidak bisa dilakukan oleh pemilik lahan). Bangunan rumah kebanyakan dibangun tidak permanen atau dengan baik karena ijin tinggal sewaktu-waktu dapat dicabut.
- Tanpa ijin/ penyerobotan/daerah terlarang
Penempatan lahan seperti ini biasanya dilakukan secara bertahap dan diam- diam. Mula mula membangun tempat “kerja” darurat, apabila tidak ada teguran dari pemilik maka dilanjutkan dengan membuat tempat istirahat, lalu tempat tinggal dan tempat memasak, diperbaiki perlahan terus akhirnya berani membuat semi permanen setelah tinggal lebih dari 10 tahun tanpa teguran. Lahan-lahan seperti ini biasanya di miliki oleh pemerintah atau negara yang tidak terjaga (PJKA, pengairan, pelabuhan dan lain-lain).
Sebagaimana diketahui bahwa rumah tidak layak huni dibangun tanpa perencanaan (IMB) sehingga tata letak ruang dan tata letak bangunan disesuaikan dengan keadaan dan situasi akses yang ada. Bentuk dan luasan lahan pun tergantung pada kemampuan membeli tanah tersebut, menyewa bahkan mungkin menempati tanpa ijin/menyerobot.
Sumber:Modul 9- Peningkatan Kualitas Rumah Tidak Layak Huni