Kota Semarang merupakan ibu kota Provinsi Jawa Tengah yang terletak sangat strategis, yakni berada di tengah-tengah pantai utara Jawa. Kota Semarang yang memiliki nama lain “Semarang The Beauty of Asia” terletak di garis 6o50’ – 7010’ Lintang Selatan dan garis 109035’ – 110050’ Bujur Timur. Secara geografis Kota Semarang berbatasan dengan :

  • Utara : Laut Jawa
  • Selatan : Kabupaten Semarang
  • Barat : Kabupaten Kendal
  • Timur : Kabupaten Demak

 

 
Berdasarkan kondisi morfologinya, wilayah Kota Semarang dibagi menjadi dua bagian, yakni Kota Semarang Bawah yang merupakan dataran rendah dan Kota Semarang Atas yang merupakan dataran tinggi (perbukitan). Kota Semarang memiliki luas wilayah sebesar 373,70 km2 yang terbagi atas 16 wilayah kecamatan dan 177 kelurahan. Kecamatan Mijen adalah kecamatan terbesar di Kota Semarang dengan luas sebesar 57,55 km2. Serta Kecamatan Semarang Selatan merupakan kecamatan terkecil, dengan luas hanya sebesar 5,93km2. Berikut luas wilayah Kota Semarang menurut kecamatan, yakni :

 

Tabel 1. Luas Wilayah menurut Kecamatan di Kota Semarang

No Kecamatan Luas (km2) Persentase
1 Mijen 57.55 15.40%
2 Gunungpati 54.11 14.48%
3 Banyumanik 25.69 6.87%
4 Gajah Mungkur 9.07 2.43%
5 Semarang Selatan 5.93 1.59%
6 Candisari 6.54 1.75%
7 Tembalang 44.2 11.83%
8 Pedurungan 20.72 5.54%
9 Genuk 27.39 7.33%
10 Gayamsari 6.18 1.65%
11 Semarang Timur 7.7 2.06%
12 Semarang Utara 10.97 2.94%
13 Semarang Tengah 6.14 1.64%
14 Semarang Barat 21.74 5.82%
15 Tugu 31.78 8.50%
16 Ngaliyan 37.99 10.17%
  Kota Semarang 373.7 100%

Sumber : Kota Semarang Dalam Angka 2019

 

Pembagian wilayah Kota Semarang menjadi kota atas dan kota bawah juga berdasarkan kondisi topografi Kota Semarang. Secara topografi, wilayah Kota Semarang terdiri dari daerah pantai, dataran rendah dan perbukitan/dataran tinggi. Daerah pantai merupakan kawasan di bagian utara yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa dan meliputi + 1% dari wilayah Kota Semarang. Daerah ini memiliki kemiringan tanah antara 0% sampai 2% dan ketinggian antara 0 – 0,75 m dpl. Daerah dataran rendah merupakan kawasan di bagian tengah, seperti daerah simpang lima dan pusat kota, dengan kemiringan antara 2 – 15 % dan ketinggian antara 0,75 – 3,5 m dpl. Daerah perbukitan/dataran tinggi merupakan kawasan di bagian selatan dengan kemiringan antara 15 – 40% dan beberapa kawasan dengan kemiringan diatas 40% (>40%). Daerah ini memiliki ketinggian yang bervariasi, seperti 136 m dpl di wilayah Jatingaleh, 253 mdpl di wilayah Mijen, serta 259 dan 348 mdpl di wilayah Gunungpati.

Kota Semarang merupakan kota perdagangan dan kota wisata di Provinsi Jawa Tengah. Hal ini terlihat dari perkembangan ekonomi Kota Semarang yang didominasi oleh sektor perdagangan, hotel, dan restoran dan industri pengelolaan. Kedua sektor tersebut penyumbang atau penggerak ekonomi paling besar di Kota Semarang.

Kependudukan

Kota Semarang memiliki penduduk yang sangat heterogen, yakni terdiri dari berbagai etnis Jawa, Cina, Arab dan keturunan. Berdasarkan hasil perhitungan proyeksi penduduk pada tahun 2018, jumlah penduduk Kota Semarang mencapai 1.786.114 jiwa dengan rata-rata laju pertumbuhan penduduk per tahun sejak tahun 2015-2018 sebesar 1,64%.

Persebaran penduduk di Kota Semarang cukup beraneka ragam. Penduduk di kecamatan di wilayah pusat kota dan kawasan permukiman cenderung lebih padat daripada penduduk di kawasan perbatasan dan wilayah yang bersifat agraris. Kepadatan penduduk Kota Semarang pada tahun 2018 mencapai 4,77 jiwa/km2 dimana penduduk terbanyak berada di Kecamatan Pedurungan, yakni 211.376 jiwa penduduk. Tingginya jumlah penduduk di Kecamatan Pedurungan disebabkan kecamatan tersebut didominasi oleh permukiman penduduk serta daerah yang cenderung dekat dengan kawasan industri di Kota Semarang. Berikut persebaran penduduk berdasarkan kecamatan di Kota Semarang, yakni :

 

Tabel 2. Jumlah Penduduk Menurut Wilayah Kecamatan di Kota Semarang Tahun 2018

No Kecamatan Jumlah Penduduk Kepadatan Penduduk (jiwa/km2)
Laki-laki Perempuan Total
1 Mijen 37.519 37.345 74.864 1.301
2 Gunungpati 58.058 58.870 116.928 2.161
3 Banyumanik 79.363 83.045 162.408 6.322
4 Gajah Mungkur 29.731 30.013 59.744 6.587
5 Semarang Selatan 32.951 36.481 69.432 11.713
6 Candisari 37.006 38.665 75.671 11.57
7 Tembalang 102.115 104.156 206.271 4.667
8 Pedurungan 104.617 106.759 211.376 10.202
9 Genuk 58.681 58.493 117.174 4.278
10 Gayamsari 40.487 41.268 81.755 13.235
11 Semarang Timur 34.404 40.189 74.593 9.687
12 Semarang Utara 57.275 60.525 117.800 10.738
13 Semarang Tengah 27.798 32.360 60.158 9.798
14 Semarang Barat 79089 83.412 162.501 7.475
15 Tugu 16.380 16.439 32.819 1.033
16 Ngaliyan 80.279 82.343 162.622 4.281
  Kota Semarang 875.753 910.363 1.786.116 4.779

Sumber : Kota Semarang Dalam Angka 2019

 

Perumahan dan Lingkungan

Rumah merupakan kebutuhan dasar bagi kehidupan setiap orang dan Rumah Tangga. Dalam pemenuhan kebutuhan ini tidak semua orang dapat memenuhinya dengan mudah. Kondisi ekonomi sangat mempengaruhi Rumah Tangga dapat menghuni rumah layak. Menurut hasil Susenas 2018, sebagian besar rumah tangga di Kota Semarang menepati rumah berstatus miliki sendiri sebanyak 65%, rumah sewa sebanyak 13,12%, Rumah Tangga menempati rumah bebas status sewa sebanyak 21,20%, serta sebanyak 0,68% menempati rumah dinas atau lainnya. Daerah perkotaan yang biasanya mempunyai fasilitas yang lebih lengkap dan sebagai pusat kegiatan ekonomi berimbas pada tingginya harga tempat tinggal di daerah perkotaan sehingga rumah tangga lebih memilih tinggal di rumah milik orang tua (status penguasaan bebas sewa).

Berdasarkan RTRW Kota Semarang, rencana kawasan permukiman Kota Semarang memiliki luas sebesar 20.832,94 Ha. Hingga tahun 2018 luas kawasan permukiman eksisting di Kota Semarang telah mencapai 16.027,49 Ha. Hampir 76% luas kawasan permukiman telah terbangun rumah tinggal.

Apabila melihat indikator rumah sehat dan layak huni sesuai standar kesehatan, kualitas bangunan tempat tinggal di Kota Semarang terbagi menjadi :

  1. Luas lantai <50 m2
  2. Lantai bukan tanah
  3. Atap bangunan menggunakan beton, genteng, asbes, seng, dan lainnya.
  4. Penggunaan dinding tembok yang terbagi menjadi kayu, anyaman bambu, tembok, dan lainnya.
  5. Penerangan listrik
  6. Air minum yang digunakan
  7. Jamban yang digunakan berdasarkan

Berdasarkan data data hasil statistik perumahan Kota Semarang tahun 2018. Hampir seluruh masyarakat Kota Semarang mendapatkan fasilitas rumah yang sesuai standar kesehatan. Berikut kondisi perumahan di Kota Semarang apabila dilihat dari indikator kualitas rumah sehat, yakni :

 

Tabel 3. Persentase Kualitas Rumah Tinggal di Kota Semarang Tahun 2018

Indikator Kualitas Rumah
Luas Lantai < 50 m2 / Floor Area < 50 m2 24.84%
Lantai Bukan Tanah / Non Ground Floor 96.63%
Atap Beton/ Genteng / Roof 72.66%
Dinding Tembok / Wall 93,39%
Penerangan Listrik / Electricity 100%
Air minum Ledeng/ air kemasan / Drinking Water 80.83%
Jamban Sendiri dengan Tanki Septik / Septic Tank 76.27%

Sumber : http://opendata.semarangkota.go.id/lv/dataset/indikator-kualitas-rumah-kota-semarang-tahun-2016

 

Selain itu agar memenuhi standar kesehatan, jenis dinding yang baik adalah dinding dengan bahan yang kedap air dan tidak berlumut. Dari data yang tersedia, sebanyak 93,39% rumah tangga di Kota Semarang sudah menggunakan jenis dinding tembok. Sedangkan sisanya menggunakan jenis dinding kayu/bahan kayu sebesar 6,34%, plesteran anyaman bambu/ kawat sebesar 0,12% dan dinding jenis lainnya sebesar 0,15 persen.

Ditinjau dari kesehatan, lantai bukan tanah dianggap lebih baik daripada lantai tanah. Rumah yang menggunakan lantai tanah dianggap sebagai salah satu kategori RTLH. Hampir 77,37% rumah tinggal menggunakan lantai dengan jenis keramik. Sisanya lantai yang digunakan dengan jenis marmer/granit, ubin, kayu/papan berkualitas tinggi, semen, tanah, dan bambu/kayu berkualitas rendah.

 

Tabel 4. Persentase Jenis Lantai di Kota Semarang

Jenis lantai terluas Persentase
Marmet/Granit 1.22
Keramik 77.37
Parket/Vinil/Permadani/Ubin/Tegel/Teraso 8.91
Kayu/Papan berkualitas tinggi 0.24
Semen/bata merah 10.73
Bambu/kayu/papan berkualitas rendah 0
Tanah 1.39
Lainnya 0.14

Sumber : Profil Tempat Tinggal Kota Semarang Tahun 2018

Atap merupakan salah satu indikator rumah sehat dan layak serta berfungsi sebagai pelindung bagi penghuni rumah dari hujan maupun panas. Sekitar 72,6% dari total rumah di Kota Semarang tinggal di rumah dengan atap terluas berjenis genteng. Sedangkan yang tinggal di rumah dengan atap terluas jenis asbes sekitar 21,12 persen; 3,95 persen menggunakan atap jenis beton; 2,18 persen rumah tangga yang menggunakan seng sebagai atap untuk bangunan tempat tinggalnya dan 0,09 menggunakan atap jenis lainnya. Berikut persentase Rumah Tangga berdasarkan jenis atap dari tempat tinggal, yakni :

Sumber : Profil Tempat Tinggal Kota Semarang Tahun 2018

 

Ketersediaan air bersih dalam rumah tangga dapat dilihat dari sumber air minum yang digunakan. Air bersih dikatakan tersedia dalam rumah tangga jika sumber air minumnya terlindung, seperti diperoleh dari air kemasan bermerk, air isi ulang, leding meteran, leding eceran, sumur bor/pompa, dan sumur terlindung. Sumber air minum terlindung tersebut dianggap merupakan sumber air bersih dengan catatan sumur bor/pompa dan sumur terlindung memiliki jarak lebih dari 10 meter ke tempat penampungan limbah/kotoran/tinja terdekat. Bukan air bersih disini mencakup sumber air minum tidak terlindung seperti sumur tak terlindung, mata air tak terlindung, air sungai, air hujan, dan lainnya. Hampir 97% Rumah Tangga di Kota Semarang menggunakan sumber air minum terlindungi. Berikut persentase sumber air bersih yang digunakan di Kota Semarang pada tahun 2018, yakni :

Sumber : Profil Tempat Tinggal Kota Semarang Tahun 2018

 

Selain itu kualitas dan kenyamanan rumah tinggal ditentukan oleh kelengkapan fasilitas suatu rumah tinggal. Fasilitas perumahan yang penting adalah penerangan. Sumber penerangan yang ideal berasal dari listrik (PLN dan Non-PLN). Berdasarkan  hasil  statistik perumahan di Kota Sematang, sebanyak 100% rumah tangga telah menikmati fasilitas penerangan listrik.

 

Rumah Tidak layak Huni (RTLH) dan Permukiman Kumuh

Munculnya permukiman kumuh di suatu kawasan juga ditandai dengan adanya Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) sebagai kondisi fisik yang mencerminkan dan menggambarkan kumuh di suatu kawasan. Berdasarkan data dari Kementrian PUPR melalui website e-RTLH, Jumlah RTLH di Kota Semarang telah mencapai 5296 KK. Beberapa permukiman kumuh ditemukan pada kawasan permukiman padat serta kawasan yang berdekatan dengan kawasan industri Kota Semarang. Berikut persebaran permukiman kumuh di Kota Semarang, yakni :

 

Tabel 4. Persebaran Luas Permukiman Kumuh di Kota Semarang Tahun 2018

No Kelurahan Kecamatan Tipologi Luas (Ha)
1 Bandarharjo Semarang Utara Kumuh berat 38.79
2 Panggung Lor Semarang Utara Kumuh berat 8.35
3 Tanjung mas Semarang Utara Kumuh berat 64.77
4 Kuningan Semarang Barat Kumuh ringan 3.7
5 Tambakharjo Semarang Barat Kumuh ringan 5.3
Total 120.91

 

Sebanyak 120,91 Ha merupakan permukiman kumuh di Kota Semarang. Dilihat dari administrasi wilayah, permukiman kumuh terpusat di kawasan industri Kota Semarang dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi. Khususnya Kawasan Tanjung Mas merupakan kawasan industri Semarang serta Kelurahan Bandarharjo merupakan salah satu permukiman padat dengan kualitas lingkungan yang buruk.

 

Backlog

Berdasarkan data kepemilikan rumah di Kota Semarang pada tahun 2017, sebanyak 324.844 rumah merupakan milik sendiri, rumah sewa sebanyak 68.242 rumah, sebanyak 94.522 rumah merupakan rumah bebas sewa, dan sebanyak 440 rumah merupakan rumah dinas. Hampir seluruh Rumah Tangga di Kota Semarang memiliki rumah sendiri. Sebagian masyarakat di Kota Semarang masih belum memiliki atau tinggal di rumah layak huni. Dilihat dari kebutuhan rumah tinggal di Jawa Tengah mencapai 2,8 juta unit. Saat ini pemenuhan kebutuhan rumah masih mengacu pada angka backlog. Kota Semarang sendiri memiliki angka backlog kepemilikan mencapai 163.643 unit serta backlog penghunian mencapai 94.962 unit. Angka tersebut merupakan salah satu angka tertinggi di Jawa Tengah.

Masalah backlog masih menjadi masalah utama dari penyediaan perumahan di berbagai kota-kota besar di Indonesia. Angka backlog dalam beberapa tahun terakhir terus mengalami kenaikan setiap tahunnya. Tingginya angka backlog perumahan terjadi karena beberapa faktor, diantaranya besarnya pertumbuhan jumlah penduduk, ketidakterjangkauan harga perumahan oleh masyarakat, swasta tidak mau berinvestasi untuk penyediaan perumahan MBR karena harga lahan tinggi, dll.