Awal tahun 2020, Indonesia dihadapkan potret bonus demografi penduduk hingga tahun 2030 mendatang. Komposisi penduduk usia produktif mencapai 60% dari total penduduk. Sekilas tampak akan menguntungkan bagi Indonesia melihat usia produktif sangat berperan dalam perkembangan ekonomi dan pembangunan negara.  Penduduk usia 25 tahun hingga 34 tahun merupakan kelompok umur terbanyak di rentang tahun 2020 hingga 2030. Kita cukup mengenal kelompok umur tersebut sebagai generasi milenial yang membawa banyak pengaruh terhadap perkembangan Indonesia, termasuk kebutuhan untuk rumah ideal, apakah itu rumah milik?

Generasi milenial memiliki beragam gebrakan perubahan yang menjadi karakter khas generasi tersebut. Mereka sebagai penggerak ekonomi, mengubah gaya hidup yang lebih dinamis, berpendidikan tinggi, serta seluruh aktivitas berbasis teknologi  menggambarkan perubahan besar yang tidak dapat dihindarkan. Adaptasi dan kesiapan, merupakan celah untuk membawa bonus demografi sebagai peluang postif untuk 10 tahun mendatang.

Masifnya persebaran generasi milenial juga mempengaruhi perkembangan dan perubahan properti dalam skala regional. Stigma masyarakat terdahulu yang menganggap rumah sebagai status sosial dan investasi mulai di tinggalkan pada 10 tahun mendatang. Ukuran sukses tidak berpatok pada jumlah dan luasan rumah yang dimiliki seseorang. Rumah yang nyaman, aman, dan pendapatan yang cukup stabil merupakan pucuk impian dan harapan disetiap orang. Namun para Millenial yang lahir pada jaman pasca revolusi internet, impian dan harapan untuk memiliki rumah tinggal apalagi rumah milik tidak lagi relevan.

Melihat dari hasil survey CBRE Global Research (www.cbre.com) yang dirilis pada Oktober 2016 di lima negara Asia Pasifik ( China, Jepang, Australia, Hong Kong, dan India ), trend property mengalami pergeseran. Sebanyak 23% milenial memilih untuk menyewa hunian, 3% untuk tinggal di rumah dinas, serta hanya 11% yang berkeinginan memiliki rumah sendiri. Banyak faktor yang mewarnai fenomena ini, seperti :

  1. Menjulang tinggi harga properti dengan tingkat pendapatan masyarakat cenderung tetap bahkan bertolak belakang.
  2. Loyalitas terhadap pekerjaan sehingga memilih jarak tempuh terdekat ke lokasi bekerja.
  3. Tempat tinggal yang terpenuhi dengan fasilitas penunjang pekerjaan dan kehidupan sehari-hari.
  4. Serta gaya hidup milenial yang cenderung memenuhi kebutuhan sosial dan konsumtif.

Rumah tinggal bagi generasi milenial bukan sebagai kebutuhan dasar dengan asas kepemilikan. Namun, sebagai ruang atau tempat pribadi serta bukan sebagai penunjang pemenuhan aktivitas sosial. Situasi ini serupa dengan awal masa urbanisasi massal di Eropa, dimana Properti dikuasai oleh kaum bangsawan, dan kebanyakan orang menjadi penyewa. Rumah-pun berganti menjadi Apartemen, dan besarnya hanya cukup sebagai tempat tinggal pribadi, belum bisa dikatakan sebagai rumah ideal.

Saat ini memilih hunian bagi kaum milenial cenderung menginginkan rumah dengan harga terjangkau dan memiliki nilai. Lonjakan kenaikan harga rumah bisa mencapai 50% hingga 200% namun bertolak belakang dengan kenaikan pendapatan milenial yang hanya 60% saja. Rumah tinggal yang berada di lokasi strategis, fungsional, terjangkau, dan cicilan yang sesuai kemampuan menjadi hunian impian kaum milenial. Sehingga tinggal dan memiliki rumah tapak bukanlah pilihan tepat sebagai rumah tinggal. Apartemen, rumah tumbuh, dan rumah sewa sebagai alternatif pilihan hunian ideal bagi kaum milenial. Penting mempertimbangkan lokasi tanah dekat dengan lingkungan yang baik (terintegrasi dengan akses transportasi publik, pusat perbelanjaan, sekolah, rumah sakit, dan lainnya) sehingga mereka bisa ‘menumpang’ fasilitas tersebut. Strategis dan efisien waktu menjadi pilihan bagi kaum milenial dalam pilihan hunian.