Keringnya sumur di sekitar hotel dan apartemen membuat masyarakat menjadi susah mengakses air yang merupakan kebutuhan paling dasar bagi manusia. Di Yogyakarta, sejumlah kampung seperti Miliran, Penumping dan Gowongan menjadi lokasi yang terdampak akan krisis air, karena banyaknya hotel dan apartemen di sekitar lokasi tersebut. Data tahun 2013 menyebutkan bahwa Yogyakarta telah memiliki 43 hotel berbintang dengan jumlah kamar sebanyak 4002, yang pastinya menyedot kapasitas air tanah dalam. Ditahun yang sama, otoritas pemerintah telah mengurus lebih dari 50 izin mendirikan gedung komersil dan beberapa diantaranya berupa apartemen lebih dari 10 lantai. Ajaibnya, permohonan Ijin Mendirikan Bangunan yang difungsikan untuk hotel dan apartemen pada Dinas Perijinan Kota Yogya naik drastis antara April – Desember 2013 hingga mencapai 104 aplikasi. Sampai dengan 31 Desember 2014, 77 aplikasi diantaranya sudah diterbitkan dan proses membangun telah dimulai. Konsekuensi dasar dari pembangunan hotel dan apartemen tersebut mengakibatkan kebutuhan air baku dilingkungan hotel dan apartemen naik secara progresif.

Penggerak warga berdaya menolak pembangunan hotel dan apartemen bermasalah yang mengakibatkan air di lingkungan sekitar hotel dan apartemen menjadi kering. Bahkan penggerak warga berdaya telah merencanakan akan melakukan kampanye boikot pembangunan hotel dan apartemen. Fakta dilapangan ditemukan bahwa pengoperasian sumur air tanah dalam oleh hotel dan apartemen, berakibat pada keringnya sumur warga di sekitar hotel. Pada titik inilah terjadi perebutan sumber daya air antara pihak hotel-apartemen dan masyarakat. Pemerintah sendiri terus membiarkan ijin tanpa ada usaha untuk bagaimana kembali menanam air. Gerakan masyarakat dalam proses advokasi lingkungan didukung oleh Walhi DIY. Upaya pembangunan hotel dan apartemen sebaiknya terus patuh pada ijin yang sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, guna menghindarkan Yogyakarta semakin jatuh dalam krisis air ke depannya.