Siapa yang tidak kenal Kotabaru, Yogyakarta? Dulu, kawasan ini lebih dikenal sebagai daerah hunian, perkantoran biasa, termasuk dalam Kawasan Cagar Budaya dan merupakan kawasan perumahan elite pada masa kolonial Belanda. Kini, segalanya berubah 180 derajat. Menurut Kepala Dinas Pariwisata Kota Jogja, Wahyu Hendratmoko, pada bulan Agustus lalu, jumlah kunjungan wisatawan di KCB Kotabaru mencapai 500 ribu orang, dengan rata-rata pengeluaran sebesar Rp 200 ribu per orang. Berbagai kafe dengan konsep unik, seperti yang menggunakan bajaj, sepeda, dan mobil, menawarkan daya tarik tak terlewatkan, terutama bagi anak muda yang gemar berburu spot Instagramable. Tak heran jika Kotabaru kini dianggap sebagai salah satu pusat gaya hidup modern di Yogyakarta. Namun, di balik hiruk pikuknya, muncul pertanyaan penting: apakah pertumbuhan street cafe ini sekadar tren sementara atau justru membawa potensi baru bagi pengembangan kawasan?
Transformasi Kotabaru tidak terjadi begitu saja. Kawasan ini awalnya didesain untuk perumahan, beberapa perkantoran, serta dijadikan sebagai Kawasan Cagar Budaya. Menurut wawancara dengan tukang parkir setempat, fenomena street cafe ini berawal dari dua kafe yang membuka gerainya di area tersebut. Seiring waktu, jumlahnya meningkat pesat, didorong oleh potensi kawasan yang strategis dan mudah diakses. Banyak pelaku usaha memilih Kotabaru karena ramai, memungkinkan mereka menarik lebih banyak pelanggan tanpa kesulitan mencari konsumen. Salah satu staf dari sebuah street cafe mengungkapkan, “Kami memilih jualan di Kotabaru karena butuh uang dan karena di sini lebih ramai. Jika di outlet, suasananya lebih formal, kalo di sini santai.”
Selain street cafe, terdapat pula UMKM yang menjual beragam makanan seperti nasi goreng, sate taichan, cilok, sempol, sate padang, dimsum, pukis, angkringan, dan banyak lagi. Namun, fenomena street cafe ini juga membawa angin segar bagi pertumbuhan ekonomi lokal. Banyak UMKM merasakan dampak positif dari maraknya kafe di Kotabaru, yang menjadi daya tarik baru bagi wisatawan lokal dan luar daerah. Sayangnya, tidak semua usaha ini memiliki izin berjualan secara legal. Beberapa pemilik cafe dan UMKM hanya mengantongi izin dari oknum tertentu, tanpa izin resmi dari pemerintah. Hal ini menimbulkan dilema, terutama ketika Satpol PP mengadakan razia dan meminta kafe-kafe ini tidak beroperasi sebelum jam 9 malam.
Salah satu pegawai street cafe juga menyampaikan bahwa mereka harus mendapatkan izin dari pihak setempat sebelum berjualan. “Jadi, pohon-pohon menjadi pembatas untuk menandai wilayah jualan kami. Izinnya ke salah satu oknum” ujarnya. Teguran dari Satpol PP sering terjadi, terutama saat mereka melihat kursi-kursi diletakkan di jalan sebelum jam 9 malam. “Mereka biasanya muter-muter sebelum jam 9, dan jika ada kursi di jalan, kami akan ditegur. Tapi setelah jam 9, tidak pernah ada teguran lagi,” tambahnya.
Maraknya street cafe juga menghadirkan tantangan tersendiri. Ketika ruang-ruang diubah menjadi tempat usaha, masalah tata ruang pun muncul. Banyak pelanggan memarkir kendaraan di jalan, mengganggu mobilitas pejalan kaki dan mempersempit ruang jalan. Beberapa lapak kafe bahkan mengambil bagian dari area pedestrian dan kendaraan, yang seharusnya tidak digunakan untuk usaha komersial.
Meskipun jumlah street cafe terus meningkat, dukungan dari pemerintah lokal masih minim. Beberapa kafe pernah dirazia oleh Satpol PP karena dianggap melanggar aturan jam operasional, yang menetapkan bahwa penjualan di kawasan ini baru boleh dimulai setelah jam 9 malam. Papan pengumuman di gereja menyebutkan bahwa penjualan baru bisa dimulai setelah jam gereja berakhir pada Sabtu dan Minggu.
Namun, interaksi antara pengelola street cafe dan warga setempat terbilang cukup baik. Hingga saat ini, belum ada protes keras dari warga terkait keberadaan kafe-kafe ini. Kebanyakan kafe memilih beroperasi di sisi jalan yang lebih dekat dengan area perkantoran, sehingga tidak terlalu mengganggu aktivitas warga.
Jika dikelola dengan baik, street cafe dapat berkontribusi dalam menciptakan identitas baru bagi Kotabaru. Salah satu langkah yang bisa diambil adalah menerapkan konsep ruang campuran (mixed-use), di mana area hunian dan komersial diatur agar tidak saling mengganggu. Pembuatan ruang parkir terintegrasi, penambahan area pejalan kaki, serta regulasi jam operasional bisa menjadi solusi untuk menjaga keseimbangan kawasan. Pemerintah lokal perlu memberikan izin yang jelas dan mendukung UMKM agar tidak terjebak dalam sistem “izin dari oknum.”
Transformasi Kotabaru dari kawasan hunian tenang menjadi pusat street cafe membawa angin segar sekaligus tantangan. Ini bukan hanya soal tren atau fomo, tapi juga bagaimana kawasan ini mampu beradaptasi dengan perubahan. Jika pertumbuhan street cafe dikelola dengan baik, Kotabaru bisa menjadi contoh sukses pengembangan kawasan di Yogyakarta dan menarik perhatian wisatawan sebagai destinasi nongkrong yang unik. Namun, jika dibiarkan tanpa perencanaan yang matang, kawasan ini bisa kehilangan identitas awalnya sebagai kawasan cagar budaya, hunian, dan perkantoran yang nyaman. Jadi, siapkah Kotabaru menghadapi perubahan ini? (HPS)
Sumber: