Adanya musim di sebuah negara adalah efek dari revolusi bumi. Indonesia memiliki 2 musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan berlangsung di Bulan Oktober – Februari saat bertiupnya angin musim barat. Sementara itu, musim kemarau terjadi ketika bertiupnya angin musim timur di Bulan Maret – September dan kelembaban udara cenderung rendah.

Setiap musimnya memberikan dampak yang berbeda, salah satunya adalah bencana alam. Bencana alam yang menjadi perhatian di Indonesia saat musim kemarau adalah kekeringan. Penelitian yang dilakukan oleh Bapppenas tahun 2007 menunjukkan adanya defisit air pada musim kemarau di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Salah satu kekeringan terparah yang pernah terjadi di Indonesia adalah kekeringan tahun 2018 yang melanda permukiman di 4.053 desa (Suhedi, 2018).

Kekeringan yang berdampak pada permukiman adalah jenis kekeringan meteorologis dan kekeringan hidrologis (BPBD NTB, 2018). Kedua jenis kekeringan tersebut akan dipengaruhi oleh karakteristik wilayahnya. Kekeringan meteorologis bergantung pada tinggi rendahnya curah hujan di suatu wilayah. Sedangkan kekeringan hidrologis berkaitan dengan simpanan air tanah dan air permukaan. Jika suatu permukiman memiliki curah hujan dan simpanan air yang rendah, maka akan menjadi daerah rawan kekeringan terutama saat musim kemarau.

Permukiman yang berada di daerah rawan kekeringan dapat melakukan penanggulangan jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang (Adi, 2011). Penanggulangan tersebut dilakukan untuk menurunkan risiko terjadinya kekeringan. Penanggulangan jangka pendek dapat dilakukan dengan dropping air bersih ketika sumber air di permukiman sudah mulai berkurang. Dropping air bersih dilakukan selama kekeringan terus berlangsung hingga sumber air kembali normal. Untuk penanggulangan jangka menengah, dapat melakukan pembangunan sumur gali, sumur air tanah dalam dan memanen air hujan (rain water harvesting). Selain itu, dapat juga dilakukan penelitian dalam rangka mencari potensi sumber air yang lain. Sedangkan untuk penanggulangan jangka panjang, antara lain melakukan reboisasi sekitar mata air dan pembangunan Instalasi Pengelolaan Air (IPA).

Penanggulangan sederhana yang dapat dibuat secara mandiri pada daerah permukiman adalah rain water harvesting. Sistem ini memiliki tiga komponen dasar yaitu catchment, delivery system dan storage reservoir (Suhedi, 2018). Catchment atau penangkap air hujan berupa penampungan permukaan atap. Sedangkan delivery system adalah talang untuk penyaluran air hujan dari atap ke tempat penampungan. Adapun storage reservoir merupakan tempat penyimpanan air hujan berupa tong, bak atau kolam. Beberapa hal yang menjadi catatan dalam penerapan rain water harvesting adalah kualitas air hujan belum memenuhi standar WHO. Ada 2 hal yang menjadi catatan standar WHO yaitu bacteriological water quality dan insect vector.

Rain water harvesting telah banyak diterapkan di beberapa negara, seperti Taiwan, Uganda dan Sri Lanka (Suhedi, 2018). Untuk penerapannya di Indonesia, masih sedikit diketahui oleh masyarakat walaupun sistemnya sederhana. Semarang merupakan salah satu kota yang berhasil menerapkan rain water harvesting. Terdapat 8 kelurahan yang telah menerapkan rain water harvesting pada kantor kelurahan, masjid dan sekolah (Dinas Lingkungan Hidup Kota Semarang, 2020). Teknologi tersebut yang digunakan untuk mengatasi kekeringan diadakan oleh Dinas Lingkungan Hidup Kota Semarang. Harapannya penanggulangan tersebut dapat mengurangi penggunaan air tanah.

 

Gambar 2. Rain Water Harvesting di Kelurahan Cangkiran Kota Semarang
Sumber: Dinas Lingkungan Hidup Kota Semarang, 2020.

Penanggulangan yang dilakukan pada permukiman untuk mengurangi risiko kekeringan dapat dilakukan secara bertahap. Penanggulangan kekeringan tersebut membutuhkan waktu yang panjang dan membutuhkan kerjasama masyarakat, pemerintah dan akademisi. Masyarakat dapat membuat penampungan air hujan mandiri pada setiap rumah dan mengurangi penggunaan air bersih secara berlebih. Pemerintah dapat membuat program untuk menjalankan tahapan penanggulangan tersebut. Sedangkan akademisi dapat melakukan penelitian terkait daerah yang sering mengalami kekeringan. Harapannya jumlah permukiman yang terdampak kekeringan akan terus berkurang.

 

 

 

 

Daftar Pustaka

Adi, Pratiwi. 2011. Kondisi dan Konsep Penanggulangan Bencana Kekeringan di Jawa Tengah. Semarang: Seminar Nasional Mitigasi dan Katahanan Bencana UNNISULA Semarang.

HK Tjasyono, Bayong. 2012. Meteorologi Indonesia Volume 1: Karakteristik dan Sirkulasi Atmosfer. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika.

Nugroho, Purwo Sutopo. 2018. 4,87 Juta Jiwa Penduduk Terdampak Kekeringan yang Tersebar di 4.053 Desahttps://bnpb.go.id/berita/487-juta-jiwa-penduduk-terdampak-kekeringan-yang-tersebar-di-4053-desa diakses pada 31 Januari 2023

Suhedi, 2018. Memanen Sumber Air Hujan Sebagai Alternatif Sumber Air. https://sda.pu.go.id/balai/bwssulawesi2/rain-water-harvesting/  diakses pada 2 Februari 2023

Dinas Lingkungan Hidup Kota Semarang. 2020. Dinas Lingkungan Hidup Adakan “Pembuatan Rains Water Harvesting Plus Resapan Kelurahan” di Beberapa Kelurahan dan Sekolah https://dlh.semarangkota.go.id/dinas-lingkungan-hidup-adakan-pembuatan-rain-water-harvesting-plus-resapan-kelurahan-di-beberapa-kelurahan-dan-sekolahan/ diakses pada 3 Februari 2023

https://bpbd.ntbprov.go.id/pages/kekeringan diakses pada 31 Januari 2023