Yogyakarta, merupakan salah satu daerah di Indonesia yang terbentuk dari zaman nenek moyang kita. Kehidupan mereka dimasa lampu membentuk kawasan – kawasan permukiman yang saat ini jejaknya ada yang masih kita temui. Aktivitas dan pengaruh budaya dari masa ke masa menghasilkan bentuk permukiman dan gaya bangunan yang bermacam – macam. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur DIY No. 186/KEP/2011 dan Surat Keputusan Dinas Kebudayaan DIY No. 188/38.A, Yogyakarta memiliki 14 kawasan heritage yang terdiri dari Kawasan Kraton, Kawasan Malioboro, Kawasan Pakualaman, Kawasan Kotagede, Kawasan Kotabaru, Kawasan Imogiri, Kawasan Parangtritis, Kawasan Pleret, Kawasan Jetis, Kawasan Pengok, Kawasan Baciro, Kawasan Prambanan, Kawasan Ratu Boko, dan Kawasan Sokoliman. Banyaknya jumlah kawasan cagar budaya di Yogyakarta menjadikan daerah ini memiliki peringkat ketiga nasional berdasarkan kekayaan sejarahnya. Tetapi sejauh mana reinkarnasi kawasan permukiman heritage tersebut saat ini?
Dari sekian banyak kawasan cagar budaya di atas, terdapat beberapa kawasan yang terbentuk dari permukiman – permukiman heritage seperti Kawasan Kraton, Kawasan Kotagede, Kawasan Kotabaru, dan Kawasan Baciro. Di dalam kawasan – kawasan cagar budaya ini terdiri dari berbagai bentuk gaya bangunan dan lingkungan yang berbeda. Perbedaan tersebut terjadi karena masing – masing permukiman dihuni oleh kelompok masyarakat yang memiliki latar belakang budaya dan aktivitas yang berbeda.
Apa yang disudah dilakukan oleh pemerintah?
Salah satu upaya pemerintah untuk pelestarian kawasan permukiman heritage adalah dengan mengeluarkan aturan – aturan terkait, salah satunya adalah Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 40 Tahun 2014 tentang Panduan Arsitektur Bangunan Baru Bernuasa Budaya Daerah. Aturan ini dibuat salah satu tujuannya untuk mengatur tentang model arsitektur bangunan yang baru dibangun ataupun direnovasi pada kawasan cagar budaya. Pergub DIY Nomor 40 Tahun 2014 menjelaskan bahwa implementasi aturan ini didasarkan pada zonasi kawasan cagar budaya yang meliputi kawasan inti dan kawasan penyangganya.
Pemerintah melalui aturan pelestarian kawasan cagar budaya tersebut mengharapkan salah satunya agar pemilik bangunan permukiman heritage di kawasan penyangga juga dapat mengikuti aturan yang telah ditetapkan. Kawasan penyangga ini merupakan koridor pintu masuk untuk menuju ke kawasan inti cagar budaya sehingga kondisi permukiman di dalamnya penting untuk mendukung secara visual. Dukungan visual ini diatur oleh pemerintah dengan menetapkan arsitektur bangunan kawasan penyangga yang memiliki selaras sosok dan selaras parsial di dalamnya. Pengawasan pelaksanaan aturan ini pada permukiman dilakukan oleh pemerintah melalui surat IMB (Ijin Mendirikan Bangunan) untuk bangunan baru dan renovasi bangunan yang diajukan oleh pemilik bangunan.
Bagaimana pelaksanaannya?
Contohnya seperti di Kawasan Cagar Budaya Kotabaru, kawasan ini terbentuk dari budaya yang dibawa pada masa Kolonial, sehingga gaya bangunan permukimannya berciri khas arsitektur Hindia Belanda. Sesuai dengan aturan yang ada, bangunan – bangunan di kawasan penyangga Kotabaru ini diharapkan memiliki selaras sosok dengan gaya arsitektur kolonial. Biasanya, konsep arsitektur ini akan terlihat pada kolom – kolom silindris sebagai ornamen dan/atau struktur yang menggunakan gaya arsitektur Neoklasik / Artneuvo / Doric dan dari ukuran bukaan jendela pada dinding luar yang relatif tidak besar. Bentuk – bentuk gaya bangunan pada permukiman yang serasi ini akan menjadi ciri khas dari kawasan Kotabaru dan sekitarnya. Seperti pada beberapa bangunan komersial di sekitar Kawasan Cagar Budaya Kotabaru berikut yang bangunannya sudah menyesuaikan aturan untuk mendukung peningkatan estetika kawasan.
Konsep bangunan tersebut harapannya tidak hanya diterapkan pada bangunan komersial, tetapi juga dapat dilakukan pula oleh pemilik bangunan – bangunan private permukiman di sekitar kawasan inti cagar budaya. Namun, juga tidak bisa dipungkiri bahwa bentuk bangunan ini juga pada akhirnya akan mengikuti aktivitas yang ditampung di dalamnya. Selain itu, pengaruh lingkungan sosial masyarakat yang ingin memiliki bangunan dengan konsep modern (model kekinian) juga pada akhirnya akan mempengaruhi ciri khas kawasan cagar budaya. Sehingga regulasi reinkarnasi bangunan perlu ditekankan agar tidak mengubah wajah kawasan permukiman heritage yang menghilangkan karakternya.
Apa harapannya?
Pemilik bangunan di kawasan permukiman heritage sebaiknya memiliki kesadaran untuk memahami lokasi bangunan mereka. Pemahaman lokasi ini akan berpengaruh pada aturan – aturan terkait yang harus mereka ikuti. Hal ini dikarenakan bangunan – bangunan tersebut bersifat private sehingga pemerintah memiliki keterbatasan wewenang untuk mengaturnya. Kesadaran ini penting untuk dimiliki oleh pemilik bangunan supaya lingkungan permukiman dan muka bangunan dapat serasi serta sesuai dengan estetika kawasan cagar budaya yang diharapkan. Pada akhirnya, apabila hal ini dapat dilakukan maka upaya dukungan untuk menjaga eksistensi sejarah dan budaya setempat dapat berjalan dengan baik. Jadi, bagaimana dengan bangunan anda? Sudahkan mengikuti aturan yang ada? (RA-CARITRA)
Daftar Pustaka :
Admin. 2016. Yang Tidak Baru di Kotabaru. Diunduh Kamis, 1 Oktober 2020 pada https://jejakkolonial.blogspot.com/2016/03/yang-tidak-baru-di-kotabaru.html
Laras. 2016. Rumah Lawas Kotabaru. Diunduh Kamis, 1 Oktober 2020 pada https://www.majalahlaras.com/the-articles/rumah-lawas-kotabaru
Pemerintah Provinsi. 2014. Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 40 Tahun 2014 tentang Panduan Arsitektur bangunan Baru Bernuasa Budaya Daerah. Yogyakarta : Pemerintah Provinsi
Pemerintah Provinsi. 2015. Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 40 Tahun 2015 tentang Perubahan Rencana Kerja Pembangunan Daerah Tahun 2015. Yogyakarta : Pemerintah Provinsi